Pungutan Dana Wisata di Tiket Pesawat Tuai Polemik dari Pelaku Wisata di Lombok
Wacana pungutan wisata ditolak pelaku wisata di Lombok. Apalagi, itu muncul saat harga tiket pesawat domestik tinggi.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Wacana pungutan tambahan pada tiket pesawat untuk dana pariwisata Indonesia menuai pro dan kontra dari pelaku wisata di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ada yang tidak setuju karena harga tiket pesawat sudah cukup tinggi, ada pula yang setuju dengan mensyaratkan transparansi dan peningkatan pelayanan.
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mewacanakan pungutan tambahan pada tiket pesawat untuk dana pariwisata Indonesia (Indonesia tourism fund). Wacana ini dalam proses pengkajian di pemerintah.
Rapat terkait hal ini digelar Kemenko Marves pada Rabu (24/4/2024). Sejauh ini belum ada skema konkret yang diumumkan pemerintah.
”Jangan khawatir, rencana ini tak akan membebani masyarakat dengan harga tiket yang lebih mahal. Ini masih dalam kajian dan tentunya kami menyadari masukan masyarakat bahwa harga tiket masih mahal sehingga kami tak akan menambah beban,” kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno dalam konferensi pers mingguan di Jakarta, Senin (22/4/2024). (Kompas.id, 29 April 2024).
Rencana itu langsung memicu pro dan kontra di kalangan pelaku pariwisata, termasuk di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Lalu Puguh Mulawarman, pemilik Zheelaya Lombok Tour di Mataram, menyatakan, kebijakan pemerintah ini tidak produktif bagi dunia wisata.
”Kita tahu sendiri, salah satu penghambat wisata dalam negeri adalah mahalnya tiket pesawat. Justru lebih murah tiket pesawat ke luar negeri. (Wacana) ini tentu berpengaruh terhadap kunjungan wisatawan,” kata Puguh, Senin (29/4/2024).
Alih-alih pungutan wisata, menurut dia, hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk memajukan pariwisata adalah membuat tiket pesawat menjadi lebih murah, dan bukan justru membebani penumpang dengan pungutan pariwisata yang berimbas kepada naiknya harga tiket pesawat.
Sebagai gambaran, saat ini tiket Jakarta-Lombok dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam dijual mulai Rp 1,3 juta. Lebih mahal sekitar Rp 200.000 dari harga tiket Bali-Lombok yang dijual sekitar Rp 1 juta dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Tiket penerbangan Bali-Lombok bahkan lebih mahal dari Surabaya-Lombok yang dijual Rp 700.000-Rp800.000.
Direktur Desa Wisata Hijau Bilebante, Lombok Tengah, Pahrul Azim juga mengatakan tidak setuju dengan wacana pungutan tiket pesawat. Terutama, jika dana wisata dikaitkan dengan harga tiket pesawat saat ini.
”Harga tiket pesawat yang sangat melejit membuat kita menjerit. Ironi sekali kalau kemudian mau menambahkan beban biaya yang lain. Hal itu tentu akan sangat merugikan kami selaku pelaku pariwisata,” kata Pahrul.
Bilebante adalah peraih penghargaan Desa Wisata Terbaik 2017 dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, juga satu dari delapan perwakilan Indonesia di seleksi desa wisata berkelanjutan yang diselenggarakan United Nations World Tourism Organization atau organisasi pariwisata dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa 2023.
Pahrul mengatakan, melihat daya beli masyarakat pascapandemi Covid-19, tidak pas jika ada tambahan beban biaya untuk pariwisata.
”Orang yang naik pesawat juga bukan wisata saja, tetapi juga ada untuk kepentingan bisnis, keluarga, termasuk pekerja migran Indonesia. Harus dikaji secara mendalam seperti apa pelaksanaanya. Mestinya, stimulan dan mitigasi pascapandemi Covid-19 benar-benar diperhatikan. Bukan sebaliknya,” ujar Pahrul.
Puguh juga setuju jika sebelum pungutan diterapkan, pemerintah benar-benar membahasnya secara mendalam. Termasuk melibatkan semua pemangku kepentingan terkait pariwisata.
Transparan
Sementara itu, Sales Manager Sheraton Senggigi Beach Resort Lombok Mareti Halawa setuju dengan wacana pungutan pada tiket pesawat. Namun, ia mensyaratkan pungutan itu diikuti peningkatkan kualitas pariwisata.
”Sebenarnya, kalau dari sisi saya, apa pun retribusi yang diminta setuju saja. Sepanjang itu benar-benar untuk perbaikan, khususnya industri atau destinasi wisata. Mau pungutan langsung di lokasi ataupun di awal pas pembelian tiket pesawat, itu hanya teknis,” kata Mareti.
Menurut dia, pekerjaan rumahnya adalah memastikan setelah pungutan diberlakukan, destinasi wisata siap memberikan layanan terbaik untuk semua wisatawan. Sejalan dengan konsep awal tujuan wisata, yakni what to see (apa yang dilihat wisatawan), what to do (apa yang dilakukan), dan what to buy (apa yang bisa dibeli).
”Saya pikir semua wisatawan pasti berani bayar harga sepanjang layanan yang dijanjikan pada pungutan itu sudah sewajarnya. Khawatirnya, sudah bayar, tetapi yang diterima zonk. Lalu bikin turis lokal atau domestik kapok,” kata Mareti.
Apa pun retribusi yang diminta setuju saja. Sepanjang itu benar-benar untuk perbaikan, khususnya industri atau destinasi wisata. Mau pungutan langsung di lokasi ataupun di awal pas pembelian tiket pesawat, itu hanya teknis.
Pemilik Tukang Holiday, Munawir Gazali, salah satu agen perjalanan wisata di Lombok, juga setuju dengan rencana tersebut. ”Selama digabungkan dengan tiket, tidak apa-apa. Asal jangan dipisah, apalagi sampai pungutan secara luring. Ribet. Selama ini, yang bikin orang malas itu sistemnya. Menghambat perjalanan, apalagi tamu dari perjalanan jauh karena harus antre lama,” katanya.
Ia menambahkan, jika pungutan tetap dilaksanakan, pemerintah harus memastikan transparansi penggunaan pungutan tersebut. Misalnya, ada laporan rutin yang bisa diakses masyarakat umum. ”Biar jelas. Juga tidak ada jalan buat dikorupsi,” kata Munawir.
Meski tidak setuju, Lalu Puguh juga mendorong transparasi jika kebijakan itu nantinya dilaksanakan. ”Jelas, kita butuhkan transparansi penggunaan. Hal yang tak kalah penting adalah penggunaannya untuk benar benar keperluan pariwisata yang berimbas pada kunjungan wisata. Bukan justru dipergunakan untuk keperluan 'operasional' para pengambil kebijakan wisata,” kata Puguh.